Sejarah perkembangan pers di
Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik
Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia
terbagi menjadi 3 golongan, yaitu pers Kolonial, pers Cina,
dan pers Nasional.
Pers Kolonial adalah pers yang
diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial/penjajahan.
Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda,
daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis
Belanda.
Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers Cina meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers Cina meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
Pers Nasional adalah pers yang
diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan dan
diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-hak
bangsa Indonesia di masa penjajahan. Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono,
pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi
harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers Nasional.
Adapun perkembangan pers Nasional dapat dikategorikan
menjadi beberapa peiode sbb :
1.
Tahun 1945 – 1950-an
Pada masa
ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah
satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah
teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan
terutama adalah peralatan percetakan. Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers
RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka
(Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News
Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
2.
Tahun 1950 – 1960-an.
Masa ini
merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa
demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat
sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda
dari Par-Pol. Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong
partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers partisipan.
3.
Tahun 1970-an
Orde baru
mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami
depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru
mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi
tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan
hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers
tidak lagi mendapat dana dari partai politik.
4.
Tahun 1980-an
Pada tahun
1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1
Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya
SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen
Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat
mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan
dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat
ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
5.
Tahun 1990-an
Pada tahun
1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada
tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di
Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis
terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah
mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor.
6.
Masa Reformasi (1998/1999) –
sekarang
Pada masa
reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya
keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan
dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh
SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses
tersebut melibatkan 3 tahap saja.
Berdasarkan perkembangan pers
tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berkembang dan
berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman.
Pers di Indonesia telah
mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut
adalah sbb :
Tahun 1945-an, pers di Indonesia
dimulai sebagai pers perjuangan.
Tahun 1950-an dan tahun 1960-an
menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik
yang mendanainya.
Tahun 1970-an dan tahun 1980-an
menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah
pembaca yang tinggi.
Awal tahun 1990-an, pers memulai
proses repolitisasi.
Awal reformasi 1999, lahir pers
bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang kemudian diteruskan
pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar